[Snack-Id] Akhirnya setelah menunggu sekian waktu penuh tanda tanya akan kepastian jadi-tidaknya bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik, Senin malam waktu Indonesia Barat, Presiden Jokowi resmi mengumumkan kenaikan bahan bakar fosil tersebut.
Tanpa ba-bi-bu dan dengan ekspresi dingin, seolah seorang eksekutor melakukan tugasnya, bekas Gubernur DKI Jakarta itu mengumumkan sendiri kenaikan bahan bakar yang dianggap terlalu membebani fiskal dan keuangan negara, serta salah sasaran tersebut. Presiden Joko Widodo berulang-ulang menyebutkan bahwa subsidi BBM telah menggerogoti anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, terbuang sia-sia bersama asap kendaraan bermotor.
Segera setelahnya, bensin yang tadinya dibandrol Pertamina Rp6.500 per liter naik menjadi Rp8.500 dan solar yang bisa dibeli dengan uang Rp5.500 menjadi Rp7.500 satu liternya. Atau dengan kata lain, harga BBM naik Rp2.000.
Menghitung uang untuk membeli bensin dan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mungkin mudah saja, tinggal tambah Rp2.000 dikalikan berapa banyak liter yang dikeluarkan. Namun, tidak semudah itu soalnya buat dunia usaha. Perlu dicari cara agar kenaikan harga BBM tidak berimbas banyak pada konsumen, yang juga sedang babak belur karena nilai uangnya berkurang, tetapi juga industri tidak merugi.
Menimbang-nimbang cara yang ditempuh untuk menyiasati kenaikan harga BBM juga tak sesederhana teori seperti menghitung 1+1=2. Harus dipikirkan apakah kenaikan produknya akan membuat konsumen berhenti membeli atau beralih ke produk lain yang lebih murah. Perlukah harga dinaikkan, atau hanya mengurangi ukuran?
Dalam satu kesempatan Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Franky Sibarani mengungkapkan kenaikan harga BBM hanya berpengaruh sekitar 1% terhadap peningkatan harga-harga barang. "Kontribusi biaya distribusi terhadap total harga barang kan hanya 2 - 5%, sedangkan komponen biaya bahan bakar minyak kan hanya 30% dari besaran 2% biaya distribusi itu, Kalau dihitung-hitung, kenaikannya hanya berdampak 1%" katanya seperti dikutip CNN Indonesia.
Industri makanan dan minuman bukan kali ini saja menghadapi persoalan serupa, tapi tetap saja sektor industri ini tumbuh meski campur tangan pemerintah. Tahun lalu, estimasi penjualan makanan dan minuman Indonesia menurut GAPMMI, sebagaimana dikutip Sindo Weekly Magazine, tecatat senilai Rp800 triliun, Sementara tahun ini, GAPMMI menargetkan pertumbuhan industri ini sebesar 5%. Namun, dengan naiknya harga BBM dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang masih loyo, mungkinkah target itu tercapai?
Pengusaha tetaplah pengusaha. Mereka akan tetap berupaya, mengusahakan usahanya untuk tetap berjalan, bertahan atau bahkan mungkin tumbuh di tengah situasi sesulit apa pun. Saya jadi ingat cerita mengenai produsen makanan ringan Kino yang memulai usaha tepat di mana bangsa Indonesia terpuruk saat krisis multi-dimensi menimpa. Saat itu, Kino meluncurkan produk permen kunyah (chewy candy) tepat di saat yang lainnya tiarap. Alhasil, Kino kini telah merambah ke berbagai sektor usaha.
Kini, sendi-sendi perekonomian masih berfungsi dengan baik. Tidak seperti tahun 1998 yang karut marut. Hanya saja, kita seperti tengah menelan pil pahit, jamu untuk supaya lebih kuat dan sehat, dengan kompensasi janji-janji terwujudnya Indonesia agar lebih baik di antaranya adalah peningkatan pembangunan infrastruktur di segala bidang, serta sarana dan prasarana bagi kemajuan sebuah bangsa. Jika itu terpenuhi, maka keniscayaan akan perekonomian yang lebih kuat dari bangsa ini akan didapat. Penduduk yang besar dengan daya beli masyarakat yang kuat, merupakan dambaan bagi setiap industri. Termasuk pula di dalamnya industri makanan dan minuman.
Sementara itu, lakukan apa yang bisa dilakukan untuk bisa bertahan. Menaikkan harga, memperkecil ukuran, mengurangi produksi atau bahkan sebaliknya, menambah kapasitas produksi untuk merebut pangsa pasar di saat yang lainnya berhenti menghela nafas.
Segera setelahnya, bensin yang tadinya dibandrol Pertamina Rp6.500 per liter naik menjadi Rp8.500 dan solar yang bisa dibeli dengan uang Rp5.500 menjadi Rp7.500 satu liternya. Atau dengan kata lain, harga BBM naik Rp2.000.
Menghitung uang untuk membeli bensin dan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mungkin mudah saja, tinggal tambah Rp2.000 dikalikan berapa banyak liter yang dikeluarkan. Namun, tidak semudah itu soalnya buat dunia usaha. Perlu dicari cara agar kenaikan harga BBM tidak berimbas banyak pada konsumen, yang juga sedang babak belur karena nilai uangnya berkurang, tetapi juga industri tidak merugi.
Menimbang-nimbang cara yang ditempuh untuk menyiasati kenaikan harga BBM juga tak sesederhana teori seperti menghitung 1+1=2. Harus dipikirkan apakah kenaikan produknya akan membuat konsumen berhenti membeli atau beralih ke produk lain yang lebih murah. Perlukah harga dinaikkan, atau hanya mengurangi ukuran?
Dalam satu kesempatan Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Franky Sibarani mengungkapkan kenaikan harga BBM hanya berpengaruh sekitar 1% terhadap peningkatan harga-harga barang. "Kontribusi biaya distribusi terhadap total harga barang kan hanya 2 - 5%, sedangkan komponen biaya bahan bakar minyak kan hanya 30% dari besaran 2% biaya distribusi itu, Kalau dihitung-hitung, kenaikannya hanya berdampak 1%" katanya seperti dikutip CNN Indonesia.
Industri makanan dan minuman bukan kali ini saja menghadapi persoalan serupa, tapi tetap saja sektor industri ini tumbuh meski campur tangan pemerintah. Tahun lalu, estimasi penjualan makanan dan minuman Indonesia menurut GAPMMI, sebagaimana dikutip Sindo Weekly Magazine, tecatat senilai Rp800 triliun, Sementara tahun ini, GAPMMI menargetkan pertumbuhan industri ini sebesar 5%. Namun, dengan naiknya harga BBM dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang masih loyo, mungkinkah target itu tercapai?
Pengusaha tetaplah pengusaha. Mereka akan tetap berupaya, mengusahakan usahanya untuk tetap berjalan, bertahan atau bahkan mungkin tumbuh di tengah situasi sesulit apa pun. Saya jadi ingat cerita mengenai produsen makanan ringan Kino yang memulai usaha tepat di mana bangsa Indonesia terpuruk saat krisis multi-dimensi menimpa. Saat itu, Kino meluncurkan produk permen kunyah (chewy candy) tepat di saat yang lainnya tiarap. Alhasil, Kino kini telah merambah ke berbagai sektor usaha.
Kini, sendi-sendi perekonomian masih berfungsi dengan baik. Tidak seperti tahun 1998 yang karut marut. Hanya saja, kita seperti tengah menelan pil pahit, jamu untuk supaya lebih kuat dan sehat, dengan kompensasi janji-janji terwujudnya Indonesia agar lebih baik di antaranya adalah peningkatan pembangunan infrastruktur di segala bidang, serta sarana dan prasarana bagi kemajuan sebuah bangsa. Jika itu terpenuhi, maka keniscayaan akan perekonomian yang lebih kuat dari bangsa ini akan didapat. Penduduk yang besar dengan daya beli masyarakat yang kuat, merupakan dambaan bagi setiap industri. Termasuk pula di dalamnya industri makanan dan minuman.
Sementara itu, lakukan apa yang bisa dilakukan untuk bisa bertahan. Menaikkan harga, memperkecil ukuran, mengurangi produksi atau bahkan sebaliknya, menambah kapasitas produksi untuk merebut pangsa pasar di saat yang lainnya berhenti menghela nafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar